Udah setahun yah ternyata ga pernah ngisi ini blog lagi, isi dayre pun juga cuma sekali-kali. Cuma mumpung masih fresh di ingatan mau sharing hal-hal yang dialami selama mission trip tahun ini, lebih sebagai reminder buat diri gw nantinya. Sama seperti kemarin gw strolling around blog ini dan nemuin postingan2 lama yang menguatkan diri gw, Gw berharap postingan ini juga bisa jadi reminder buat diri gw di masa depan kalau “api” gw mulai padam.
Sebenernya tahun lalu uda ikut mission trip yang diadain gereja. Beberapa perbedaan antara mission trip tahun ini dan tahun lalu:
1. Lokasi Mission Trip tahun lalu di Tebas sementara tahun ini ke Bengkayang, daerah yang sedikit pelosok, dengan gambaran anak-anak yang dilayani juga tidak semaju di Tebas
2. Tahun lalu gw pergi akhirnya, setelah Tuhan nutup berbagai jalan gw yang lain, sehingga mau ga mau gw pergi, jadi bisa dikatakan pergi setelah ga bisa kabur ke mana2;p.
3. Tim tahun ini lebih bervariasi, lengkap perwakilannya dari Komisi Remaja, Pemuda, Dewasa, Wanita, Usia Indah, plus umum.. Kolaborasi yang indah dan tentunya dari segi jumlah juga lebih besar dari tahun lalu. Tahun lalu kami hanya ber-17 melayani +2.626, tahun ini kami ber-28 melayani 6.017 jiwa. Angka ini hanya sekedar data dibandingkan berkat yang kita terima selama 2 tahun ini. Berkat yang ga bisa dihitung dengan angka
4. Pembagian tim kali ini lebih menantang, karena semua anggota tim siap ga siap harus maju dan ga cuma sekedar nonton. Dan tahun lalu jauh lebih terkoordinir jadwal hariannya.
5. Kalau tahun lalu theme song buat gw itu “Jadi SepertiMu”, yang buat gw pribadi seperti doa supaya Tuhan melembutkan hati gw agar bisa melayani anak-anak tersebut, agar gw punya compassion seperti Tuhan, tahun ini theme song-nya buat gw adalah “Tetap Setia” karena semua kebaikan yang udah gw terima sepanjang hidup gw terus menguatkan gw agar bisa bertahan sampai akhir
Tahun ini terasa beda dengan tahun lalu dan sukacita yang didapat pun besar banget. Sungguh bukan kita yang mengikuti trip tersebut yang membawa berkat bagi anak-anak di kota tersebut, tapi justru kamilah ber-28 orang ini yang mendapat berkat dan dibentuk Tuhan dengan lebih lagi.
Beberapa hal yang didapat dari persiapan hingga seminggu di Bengkayang itu bener-bener precious banget:
1. God taught me to be sensitive towards His will and DO it!
Buat gw pribadi proses pembentukan Tuhan itu uda terasa dari masa-masa persiapan. Pada saat bingung milih bahan apa yang mau dibawain, sampe rasanya pengen mundur aja dari tim ini, dalam hati toh gw belum tentu bisa pergi sebenernya. Pada saat kebagian jatah presentasi mengenai bahan, beberapa hari sebelum deadline toe masih bingung mau bawain apa,bolak balik Alkitab tanpa tau sebenernya nyari apa. Tapi entah kenapa Tuhan bisa nunjukkin ke Matius 9:9-13, cerita mengenai Matius. Pada saat PA pribadi bahan ini, berasa banget digampar Tuhan. Pada saat tersebut gw punya problem dengan seorang teman yg udah mewarnai 1/3 hidup gw, dan sadar ga sadar,I’m losing one of my bestfriend. lebih karena gw ga bisa terima cara berpikir dan prinsip hidup dia, gw sempet berasa ga nyaman dengan temen gw yg satu ini, dan akhirnya gw lebih memilih menjaga jarak dan menjadi orang yang dingin di sekitar dia, dan akhirnya hubungan kita pun menjauh. Pada saat PA ini, Tuhan ngegampar gw, ga seharusnya gw milih2 teman, dan gw berasa Tuhan berbicara gw harus memperbaiki hubungan gw dengan teman gw ini. Dan to be honest, gw masih mengulur-ngulur waktu untuk berbicara. Sampe pulang dari Bengkayang, rasanya Tuhan ngegampar gw lagi untuk segera ngeberesin hal tersebut, “anak-anak jauh di Bengkayang aja mau lo layanin, tp temen lo sendiri lo tinggalin”, dan balik dari sana gw makin berasa bersalah krn ketika temen gw lagi melalui kesulitan, gw sudah dalam posisi teman yang sudah sungkan untuk memeluk atau bahkan menghibur dia karena sudah adanya jarak yang tercipta beberapa bulan terakhir. ini satu PR yg masih harus gw beresin.
2. If It’s His plan, He’ll make a way, even it looks impossible for us.
Sama seperti tahun lalu, gw ga pernah berani confirm kalo bakal pergi dalam tim misi tahun ini. Ketika ikut beli tiket pun masih banyak keraguan apakah bisa ikut. Pada saat itu berpikir, gw ga akan pernah tahu sampai hari H akan terjadi apa, bisa aja gw sakit, kecelakaan atau kerjaan menuntut untuk tetap ada di kantor atau gimana sehingga ga bisa ikut, cuma dari pada mencoba kabur kaya tahun lalu dan digampar lebih keras, mending tahun ini taat aja deh. tu pikiran di awal.
Dan bener aje, tiba2 di awal Juli diinfoin bahwa kita akan launching varian baru dan kurang lebih tanggal launch-nya yah pas hari keberangkatan ke Bengkayang. Dan akhirnya infoin lah ke “mami” kalau gw belum tentu bisa ikut tim misi ini, karena perihal pekerjaan. Bergumul, dan terus bergumul apa sih yang Tuhan inginkan, pergi apa ga pergi. Sampai pada minggu pertama Agustus, Papi daniel Alexander khotbah, dalam diri berdoa Tuhan pengen banget punya sensitivitas seperti Papi Daniel, yang kayanya peka banget sama suara Tuhan. Bener-bener pada minggu itu berdoa minta tanda sama Tuhan.
Akhirnya ga lama setelah itu, bos infoin, acara launching diundur ke minggu kedua Sep. Langsung kaya disentil Tuhan, nah ini saatnya kamu ajuin cuti. Akhirnya sepanjang minggu itu, ngejer deadline semua kerjaan yang jd tanggung jawab gw, bikin timeline yang menggambarkan kalau kerjaan gw bisa kelar sebelum tgl keberangkatan, atau bisa diteruskan setelah gw balik cuti, dan menggambarkan kalau kerjaan follow up bisa dilakukan by email pada minggu keberangkatan tersebut.
Lucunya, mau minta ijin cuti susah aje. Pada saat mau ajuin cuti di pagi harinya, c babe aka pak bos malah dipanggil meeting ampe abis lunch, sementara abis lunch gw musti urus perijinan ke BPOM. Alhasil ketar ketir neh ga bakal ketemu, itu dgn kondisi H-10 hari menjelang keberangkatan. Akhirnya gitu balik kantor dari BPO, kebetulan c babe belom pulang, setelah diskusi beberapa kerjaan, g ajuin lah itu kertas cuti dan timeline yang udah gw buat. Dan babe cuma ngomong, “Ya udah, tingalin aja di meja”. Ketar ketir juga dia ga langsung tanda tangan. Puji Tuhan besoknya form cuti dikembalikan dengan tandatangan dia di atasnya.
Beberapa hari setelahnya, setelah cuti keluar, bos lainnya sempat menugaskan untuk keluar kota dalam rangka survey lokasi launching, untungnya c babe pun membela kalau gw uda terlanjur cuti pada tanggal tersebut. Dalam hati, waduh kalau telat beberapa hari aja ajuin cutinya, runyam udah..alamat batal,
See!! Kalau Tuhan memang uda berkehendak kita untuk melakukan pekerjaan DIA, Dia pasti buka jalan, sekalipun jalan itu terlihat mustahil bagi kita.
3. God said: “Lean on Me! Let me work through you”
Ketika sampai di Bengkayang minggu malam, ternyata jadwal pelayanan itu baru diperoleh harian dan malam hari. Malam pertama kami diinfokan kalau besok akan melayani di satu sekolah SMP dan SMA di mana jumlah muridnya sekita 800 lebih. Akhirnya disusunlah 6 pembicara dan liturgis untuk melayani keesokan harinya. Pada malam itu gw berpikir, whoaa untung besok pelayanan di SMP dan SMA, dan kebagian jadi liturgis aja, gw belom akan kebagian jatah pelayanan Firman besok karena gw kan dipersiapkan bwt anak SD.
Jengjengjengjeng…Ternyata keesokan harinya, rencana tinggalah rencana. Pada hari itu ada 10 kelas yang harus dilayani, sehingga harus ada pembicara lainnya yang bersiap untuk membawakan Firman di masing-masing kelas, dan di antara nama-nama pembicara tambahan gw lah salah satunya. At that time kaya ada palu besar menghantam kepala gw.
Beberapa minggu ini kembali berjuang dan bergumul perihal masalah kelayakan dalam melayani dan kepercayaan diri gw. To be honest walau sering kebagian pelayanan mc, atau guru sekolah minggu, gw bukanlah seorang yang percaya diri, setiap kali terlibat dalam pelayanan tersebut, gw harus mengalahkan masalah perasaan ga layak dan ketidakpercayaan diri gw, dan seringkali maag gw kambuh karena hal itu. Gw ga pernah suka untuk melayani di depan umum, dan seandainya bisa, lebih memilih untuk berada di balik layar.
Sehingga ketika nama gw diumumin menjadi salah satu pembicara, segala pergumulan itu come up. Gw merasa super duper ga layak, ga pede bisa bawain bahan buat anak-anak tingkat SMP dan SMA. Dan kami hanya diberikan kesempatan persiapan selama 20-30 menit. Pada saat itu rasanya air mata uda mau jatuh, dan bener aja pas doa langsung ngejer. Pas banget muka gw yang berkaca-kaca ketangkep kamera si fotografer, katanya c idung uda mulai merah, tapi gw ga terlalu ngeh. Tapi inilah moment di mana gw bergumul untuk bersandar pada Tuhan.
Tapi puji Tuhan! Dalam doa bersama, Tuhan mulai nenangin hati gw. Dan puji Tuhan lagi, ternyata tim gw pada saat itu adalah seseorang yang udah gw anggep adek gw sendiri, temen setim dari pelayanan di Tebas tahun lalu, dan teman setim dalam pelayanan di kebaktian 3, beserta seorang ii yang sangat amat membantu sekali. Adek gw ini mungkin ga sadar, tp ketika dia memimpin puji-pujian, bagaimana dia menempatkan diri dan mengajak gw untuk bersama-sama mimpin pujian, jadi seakan-akan kita mc berdua, dia membantu gw untuk menghilangkan ketakutan gw, dan membuat gw lebih tenang. Knowing that he is by my side, ditambah seorang “mami” rohani yang akhirnya juga masuk ke kelas gw untuk membantu, somehow menjadi kekuatan gw, mengingatkan kalau gw ada dan bisa melayani saat itu gw ga sendiri. Tuhan ada mendampingi gw, dan Tuhan mengirimkan “alat-alat” Dia yang lain untuk mendampingi gw.Sayangnya gw ga belajar dari kejadian itu. Hari Rabu, hari di mana Tuhan kembali membentuk gw. Pada hari Rabu itu, kita dibagi-bagi ke dalam kurang lebih 10 tim. Dan karena terlalu banyak siswa-siswi yang harus dilayani, banyak di antara kami yang harus “single fighter” melayani 60-ratusan anak. Pada pagi itu, kebetulan gw kebagian lagi sama c adek gw itu. Dan sebagai “cici” yang baik gw membiarkan dia memilih dia mau memegang kelas kecil atau kelas besar. Dan dia memilih kelas besar (4-6). Di kelas 1-3 ini ternyataaaa rusuhnya minta ampun. di dalam kelas yang kecil, harus menampung 70an anak, di mana bangku yang harusnya diduduki oleh 2 orang, malah diduduki oleh 5-6 orang. Kebayang dong yah suasananya. Catastrophe!
ketika melihat anak-anak sebanyak itu, langsunglah perasaan inferior gw muncul. Haduh gimana caranya gw seorang diri menghandle diri menghadapi anak2 seliar ini. Itu pemikiran gw pada saat itu. Gw langsung ngedrop, lupa berdoa sama Tuhan. Suara yang tadinya pas-pasan, jadi super duper false pas pimpin pujian. sempet berdoa sejenak, ketika anak-anak pada ijin ke wc, tp ga bener2 berserah pada Tuhan, karena rasa khawatir dan inferior gw lebih menguasai gw pada saat itu. Ketika masuk ke cerita, pada saat story telling suasana masih tenang, tapi ketika mau masuk ke inti pembicaraan, entah gimana suasana kacau banget, ada yang pukul-pukulan di belakang, ada yang sengkat-sengkatan karena berebutan tempat duduk karena ingin mendengarkan cerita. Tapi pada saat itu gw ga peka kebutuhan mereka. Gw hanya menganggap mereka anak-anak liar, padahal sebenernya mereka ribut, karena mereka ingin turut mendengarkan tapi mereka dalam kondisi yang sangat amat tidak nyaman karena harus berhimpitan satu sama lain.
Akhirnya gw hanya berfokus pada kurang lebih 10-15 anak di hadapan gw. Dan sedihnya lagi, Tuhan seperti berbicara pada gw untuk memperhatikan satu anak, di mana ketika gw bertanya adakah di antara kalian yang merasa tidak disayang orang tua, hanya dia yang mengangkat tangan. Setiap kali gw melihat dia, mata dia ga pernah terlepas dari gw. Dan selidik punya selidik nama dia DIKA. dan akhirnya pesan yang gw sampaikan lebih gw tekankan ke dia, Sampai ketika membubarkan kelas ini, gw cari tahu nama dia, dan gw kumpulkan lagi di ruangan, agar lebih bisa berdiskusi dengan anak tersebut. Reminder for myself: untuk terus bawa Dika dalam doa!
Pada hari itu gw berasa super duper gagal, berasa kayanya unworthy banget deh. Ternyata pada hari itu, di kelas 4-6 adek gw pun ga lebih mudah, bahkan dia sempat diludahi. Pulang ke markas pun ternyata banyak yang juga sedang menangis mengalami pergumulan yang sama, di mana anak-anaknya susah diatur dan kesulitan untuk crowd control.
Siang itu kami “dihukum” oleh “papi” untuk melakukan solitude, mengambil waktu pribadi untuk berbicara dengan Tuhan. Di dalam kesendirian gw, gw terus bertanya-tanya pada Tuhan, kenapa Tuhan membiarkan rasa inferiority gw menguasai diri gw di saat2 penting, muncullah kekecewaan ketika gw mengahadapi interview pekerjaan di suatu perusahaan internasional beberapa waktu menjelang keberangkatan ke bengkayang, pada saat interview itu jg gw membiarkan perasaan inferior gw menguasai gw, dan gw ga perform. Dan pagi itu kenapa juga Tuhan ngijinin rasa inferior itu menguasai gw, padahal kan konteksnya gw lagi melayani Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bergejolak di kepala gw. Dan kaya ditegur sama Tuhan, saat itu entah kenapa kaya Tuhan suruh gw buka 2 Korintus 12:9, Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu , sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” Di situ seeprti Tuhan berbicara, yah justru dalam kelemahan gw inilah Tuhan yang bekerja, dan gw seperti ditegor bahwa pada pagi itu, gw ga sepenuhnya bersandar pada Dia, ibarat kalau Tuhan lagi gendong gw, gw tetep kekeuh, kaki gw masih nyentuh lantai, dan coba ngeganggu arah penggendong gw.
4. What a church should be: It should be a PEACE messenger
Selama melayani di Bengkayang, fasilitas bukanlah fasilitas yang menyenangkan. Tidur di atas kayu beralaskan tiker, kamar mandi dan toilet yang tidak bisa dikatakan nyaman, karena seringkali mampet, dan hanya ada satu kamar mandi yang bisa dikatakan layak. Banyak di antara kami yang harus menempuh perjalanan yang ga bisa dibilang menyenangkan, harus berjalan kaki lewatin lumpur, mengendarai mobil lewatin jembatan yang bolong, dorong mobil yang selip di tengah lumpur. Dengan medan yang seperti itu, dan dengan jumlah tim yang tidak bisa dikatakan sedikit (28 orang + 2 Hamba Tuhan lokal) dari berbagai usia, biasanya akan ada keluhan atau kritik selama melayani. tapi indahnya selama masa seminggu itu kami bisa bekerja sama, menguatkan satu sama lain, dan bahu membahu memberitakan injil. Bukankah seharusnya sebuah gereja seperti itu: bersatu, bersama-sama saling membangun, memuliakan Tuhan dan memberitakan injil. Teringat satu quote di bawah ini:
5. By being HIS disciple, I’ve gotten another family that I treasure so much
Indeed, mengikut Tuhan suddenly keluarga kita bertambah besar. gw jadi punya “papi” & “mami” rohani, cici, koko, dan bahkan ade-ade rohani. Dan seringkali mereka inilah yang menguatkan gw ketika menghadapi tantangan dan mengingatkan gw kalau-kalau gw mulai mundur atau hilang arah. Minimum sekali dalam seminggu ketemu mereka itu kaya recharge energi.
Pengalaman selama seminggu di sana bener-bener ga tergantikan. Di sana lebih retreat dari semua retreat yang pernah gw ikutin. Dibentuk Tuhan dengan cara yang keras, siap ga siap bener-bener harus sedia kl Tuhan uda berkehendak. Kami ber-28 bukan hebat mau bersusah-susah ke sana, tapi kami hanyalah alat di tangan Sang Tukang Kayu, yang ga berguna kalau si Tukang Kayu tidak ingin memakai kami. Harga yang harus dibayar, energi, peluh, air mata yang harus keluar itu ga ada apa-apanya ketika mengingat kasih Tuhan dalam kehidupan setiap kami, dan juga ga ada apa-apanya dibandingkan ketika kita melihat anak-anak yang dilayani bisa menerima Tuhan sebagai Juruselamat mereka, terlebih lagi mengambil berbagai komitmen pribadi lainnya. Senyum mereka, keriangan mereka, seperti menyirami hati kami. Dan kami melihat Tuhan dalam wajah-wajah mereka, kamilah yang terberkati lebih besar.
Sekilas perjalanan selama seminggu ini dirangkum dalam suatu video yang dibuat oleh salah satu anggota tim kita.
Hopefully api-api ini ga padam, melainkan dapat diteruskan sehingga gereja yang tadinya suam-suam kuku dapat bertumbuh lebih lagi menyenangkan hati Tuhan.